Tertinggal; Sebuah Memoar

Dear all, tujuan awal blog ini dibiarkan hidup, adalah untuk melatih kepekaan menulis (sekaligus ajang narsistik bagi tulisan-tulisan tidak bermutu—he;p). Tapi, seiring berjalannya waktu (waktu bisa jalan ya?), tulisan yang ada di blog ini semakin tidak menentu arahnya, entah ideologis atau sekedar buang-buang waktu untuk dibaca..

Seperti itulah hidup penulis sekarang, out of the box. Semakin tidak menentu arahnya. Diawali dengan kesibukan ini itu, hingga akhirnya sama sekali out of the community. Semakin keras usaha untuk mencoba kembali, semakin banyak rintangan.

Konsekuensinya, seakan-akan kembali ke masa-masa lalu. Dan hal ini tidak hanya terjadi pada saya saja, teman-teman yang lain juga [mungkin] merasakan hal yang sama. Entah setannya yang cerdik menggoda, ataukah kami sudah menjadi komunitas setan-setan itu? Walaupun, kuantitas bukanlah menjadi alibi untuk melegalkan kondisi ini, tapi seakan-akan saya merasa aman, melihat orang lain mengalami hal yang sama. Bahwa, bukan hanya saya yang kini dalam kelemahan, tapi mereka juga!

Ya, sedari awal kami [komunitas orang setengah waras –dimata orang lain] , sudah terjebak dengan strategi kuantitas. Kami selalu berpikir, yang penting ada! Bukan, kualitas, yang dengannya, walau seorang, tetap mengalahkan kuantitas beribu orang. Kami [atau mungkin saya] terlalu bersemangat bahwa, kami akan mengalami hal-hal yang akan membuat kami tersadar, dan kemudian bangun kembali menyebarkan virus-virus ideologis kami, dan seterusnya hingga semua orang berpikir seperti cara pikir kami. Dan parahnya, pemikiran kami tidak diisi penuh. Ibarat kendaraan, bensinnya sudah habis di tengah jalan. Inilah realitanya sekarang, kami seperti berhenti di tengah jalan. Sementara musuh-musuh kami semakin kuat, menyebarkan virus-virus ideologis mereka, yang akhirnya membuat orang kebanyakan berpikir seperti mereka.

Sungguh, saya iri melihat orang-orang yang tetap mampu bertahan. Mereka, yang ditengah kesibukan, tetap menyatu dalam shaf. Mereka, yang bahkan mengabdikan hidup mereka hanya untuk berada dalam shaf tersebut. Mereka, yang sedari awal sudah berkomitmen penuh dan terus melaksanakan komitemen itu dengan sepenuh hati. Dan, rasa malu yang menyeruak ketika kami bertemu. Saling menanyakan kabar, hingga menanyakan kondisi sekarang. Mulut ini rasanya terkunci, muka ini serasa ingin dibenamkan dalam-dalam, dulu kami yang seperjuangan, kini serasa berubah arah. Mereka yang tetap melaju, kami yang tertinggal di belakang.

*dedicated to them. Miss u brotha’!

0 Response to "Tertinggal; Sebuah Memoar"

Post a Comment

Komentar, Bukan Spam ;)