Eklampsia : the untold story behind

Ny. X, 19 tahun, didorong ke VK dari UGD dengan diagnosa eklampsia. G1P1A0, gravidnya saya lupa sudah berapa minggu. Pasien ini rujukan dari rumah sakit kabupaten di dareah selatan. Sampai di VK, pasien ini dalam keadaan kesadaran berkabut. Menurut keluarga, sudah ada 2 kali pasien kejang dalam perjalanan rujukannya. Di VK, pasiennya kejang lagi. Setelah ambil darah vena untuk pemeriksaan lab, dan persiapan transfusi, pasiennya kejang lagi. MgSo4 10 cc diinjeksikan intravena, pelan-pelan.
Lidah pasien mulai tergigit. Residen dan koas mulai kasak-kusuk cari spatel. Ternyata gak ada. Yang ada cuma sendok. Ya sudah, dimasukkan saja. Saya kemudian bertanya sama bu Bidan, “Bu, ada gudel nda?”. “Yang mana itu dok?”, jawabnya. Saya lalu menyebut pipa orofaring, bu bidan malah makin gak ngerti.
OMG, gudel tidak tau?
Lemari karatan penuh barang-barang karatan, mulai saya bongkar. Bingo! Dapat spatel. Tapi, sudah berkarat.
OMG lagi. Spatel berkarat?
Ya sudah, dibersihkan sedikit, dilapisi gaas. Lalu dimasukkan ke mulut pasien untuk mengganjal lidah dan gigi.
Bisa kamu bayangkan? VK di salah satu rumah sakit rujukan, tidak memiliki gudel? Punya spatel berkarat?
Tiba-tiba, pasien mulai apnea. Oksigen kanul serasa gak ada guna. Residen mulai minta oksigen mask. Bu bidan bilang; gak ada dok.
Saya ke belakang lagi, bongkar lemari lagi. Voila! Ada oksigen mask (tapi buat bayi), ada juga bag valve mask (yang sayangnya gak punya connector). Apa boleh buat. Selang kanul saya gunting, lalu “dipaksa” nyambung ke oksigen mask.
Karena spatel sudah dimasukkan ke rongga mulut, rasanya jadi susah untuk masking pasien. Oksigen dari tabung oksigen super berat itu, lebih banyak yang keluar. Dari tadi tidak dapat gudel, akhirnya saya lari ke ruang high care unit Interna. Dapat! Ada gudel, ternyata. Dari ruang high intensive care di lantai 3, lari-larian ke lantai dasar.
OMG. Rumah sakit sebesar ini serasa kayak rumah sakit asal jadi.
Cito SC, begitu keputusannya. Setelah pasien mulai sedikit terkendali, mulailah lagi kesibukan baru. Kasak kusuk cari oksigen transport buat dorong pasien ke OK Cito. Tebak apa? Ya, di VK tidak ada oksigen transport.
OMG kedua. Tidak punya oksigen transport?
Bitjil-bitjil, yang rasanya –sorry to say- seperti cuma nonton maut menyongsong, gak bisa diandalkan buat cari oksigen transport. Yaaa lari lagi ke bangsal bedah dekat VK buat pinjam oksigen transport.
Pasien mulai stabil, mulailah dilarikan ke OK cito. Anestesi menjawab, pasien tidak optimal untuk op. Observasi kejang, sarannya.
Selanjutnya, jam pulang koas.
Keesokan pagi, ternyata si ibu sudah di SC, -sedihnya- bayinya meninggal. Pasien masuk ICU.
2 hari setelahnya, dapat tugas jaga di ICU. O, si ibu sudah meninggal rupanya. Desas-desus kabar angin dari koas lain, meninggal karena ventilatornya tidak berfungsi gara-gara ada pemadaman… Semoga ini cuma kabar angin!
Masalah terakhir, si ibu tidak punya status yang jelas. Pasien umum kah, ASKES kah, Jamkesmas kah, Jamkesda kah. Si ibu tidak punya identitas apapun (including KTP dan KK untuk urus status Jamkesda). Walhasil, staf ICU jadi kelimpungan mencari alamat keluarga, karena mau tak mau, ada biaya yang harus dibayarkan. Biaya OK, biaya ICU, biaya lab, dan sejuta biaya lainnya.
Apa yang kamu pikirkan? Bagaimana kalau itu ibumu? Istrimu? Kakakmu? Keluargamu?
*sekilas tentang dunia rumah sakit dan sistem jaminan kesehatan kita