Flight of Ideas? Apa itu?

Saya, -dengan serampangan- menyebut diri sendiri mengalami flight of ideas.
Apa itu?
Flight of ideas adalah kondisi gangguan kejiwaan (bukan berarti gila!). Flight of ideas ini termasuk dalam gangguan berpikir. Proses berpikir mudah teralihkan dari satu tema ke tema yang lain. Susah untuk hanya berkonsentrasi pada satu tema saja. Dan orang lain, melihatnya sebagai keracauan berbicara. Seperti saat ini, susah bagi saya untuk berbicara dengan orang lain, dengan tema yang sedapat mungkin dipertahankan. Bukan berarti plin-plan, cuma susah untuk mengemukakan dengan tepat apa yang ada di kepala, dengan bahasa yang tepat. Lebih tepatnya, jalan pikiran yang melayang. Jadinya, ya kadang-kadang ngomongnya gak nyambung. Mungkin seperti saat ini. Hehe..

Jadi sebenarnya apa yang saya alami?
Flight of ideas atau gangguan verbal?

Temukan jawabannya di posting selanjutnya. Sampai jumpa.
Haha, seems like an ugly anchor, right?

PS : Dadi, i'm coming!

My Personality

Click to view my Personality Profile page

Huhu, what do u think?

Gambaran Bercak Berawan?

Pekan I
"Ini foto thorax normal.."
"Liat gambaran bercak berawannya gak? Jelas sekali lho.."
"Corakan vaskularnya ramai kan? Khas bronkitis nih.."
"Ini garis epifisis ya, beda sekali kan dengan garis fraktur.."

*Me : blank.
Bercak berawan? Otakku mungkin yang berbercak-bercak T_T

Pekan II
"Sudah liat belum? Itu, jelas sekali Morton sign.."
"Nah, ini haustranya tidak kelihatan, mungkin blabla.."
"Sudah liat gambaran hipoechoicnya? Mungkin ini massa.."
"Lihat kan, spill-nya negatif."

*Me : still blank
Ya ampun, otakku memang sedang spill (tumpah)
Sudah dua pekan di Radiologi, masih saja manyun. Gak ngerti, gak bisa bedakan foto. Sepertinya foto-foto yang saya lihat sama saja, sama-sama hitam putih..

Ujian foto : H-4. Mampus dahh

Saya-Tidak-Mau-Anak-Saya-Ditangani-Koass T_T

Pernah -dan berkali-kali-, pengalaman “ditolak” oleh keluarga pasien, membuat saya –dan koas lainnya- menjadi seperti sangat direndahkan, bahkan mungkin, jengkel, hingga kami melupakan bahwa mereka sedang sakit.

Di IRD anak, penolakan seperti itu pernah saya alami. Seorang ibu tergopoh-gopoh membawa anaknya, berumur sekitar 3 tahun, dengan keluhan demam. Ibu ini langsung masuk IRD, bertanya dokternya yang mana. Aturan di IRD, semua pasien baru diterima oleh koas, kecuali dalam keadaan “gawat-sekali”. Ibu ini mulai menunjukkan rasa ketidaksukaannya, dengan menjawab heteroanamnesa dengan seadanya. Malah ia mencak-mencak, kenapa anaknya tidak langsung diperiksa darah saja. Dhegg.. saya, antara jengkel dan terpuruk, tidak menjawab apa-apa. Ibu itu lalu membawa anaknya turun tanpa berkata apa-apa, langsung ke lab, untuk memeriksakan sendiri darah rutin anaknya, tanpa pengantar dari kami. It was shock me. Sambil membawa turun anaknya, ia mencak-mencak dengan mengatakan di RS lain, semua pasien baru langsung diambil darahnya.

Reaksi penolakan Ibu ini, setidaknya menunjukkan ia sangat care pada anaknya, namun di sisi lain tindakannya justru bisa membahayakan anaknya. Bagaimana jika tiba-tiba misalnya sang anak kejang saat dibawa ke laboratorium? Kejang demam pada anak justru adalah hal yang dikhawatirkan. Selain itu, anamnesa lanjut bisa membantu untuk menentukan pemeriksaan apa yang dibutuhkan, bukan pemeriksaan menentukan anamnesa.

Dokter jaga yang menyaksikan adegan ini, cuma bisa menggeleng kepala, bahkan ia tidak dianggap oleh Ibu itu. Dokter X, sebutlah namanya, membela saya dengan mengatakan anak Ibu itu sebaiknya diperiksa dulu, baru ditentukan tindakan apa yang akan diambil. Tapi, Ibunya tetap keukeuh keluar dari IRD. Eh, terakhir Ibu itu kembali ke IRD, dan toh diperiksa juga. Diagnosisnya? Common cold, yang cukup diobservasi saja.

Pengalaman lain, masih di bagian Anak, seorang anak 5 tahun datang dengan keluhan nyeri perut bagian bawah. Rujukannya dari RS daerah diperuntukkan untuk Prof.X. Diagnosa sementaranya sindrom nefritik akut. Yang membuat rasa tidak nyaman bagi kami para koas, adalah kebiasannya memanggil kami –bahkan saya anggap meneriaki- koasss! Selayaknya beberapa residen dan perawat yang terbiasa demikian. Apa susahnya sih, dipanggil baik-baik, toh kami juga akan lebih respek pada anda jika anda respek pada kami juga. Tak perlu memanggil kami dokter, tapi tolong jangan rendahkan kami.

Yang mengganjal juga adalah ketika ia bertanya, Prof.X dimana. Ia mau anaknya langsung ditangani oleh Prof X. Secara juga, RS ini adalah RS pendidikan, maka sistem pelayanannya juga bersifat down-top. Bukan langsung ke supervisor.

Satu yang cukup membuat tawa, ketika seorang kerabat pasien yang lain, bertanya pada kami di mana kantor RS ini. Katanya, ia punya keluarga di sana yang keturunan Raja. Ia mau langsung mendapat pelayanan “istimewa”. Ada-ada saja.

Namun, tetap pengalaman mengharukan tentang susahnya mencari obat bagi pasein tidak mampu, hingga akhirnya pasien meninggal membuat sebuah tanda tanya besar, sejauh mana kita peduli? Mengandalkan JPS/Gakin semata-mata tidaklah cukup. Terkadang ada tindakan medis ataupun obat-obatan yang tidak ditanggung oleh JPS/Gakin. Lalu kemana mereka harus meminta?

Cerita menyedihkan tentang pelayanan di bangsal kelas III juga menjadi hal yang menyakitkan. Mereka yang mengandalkan kartu JPS/Gakin, hanya akan dirawat di bangsal. Yang saya rasakan, diskriminasi antar kelas begitu bermakna. Di beberapa RS, bangsal kelas III mudah ditandai dengan lorong-lorong kumuh, bau, sampah menyebar. Sementara kelas dan paviliun begitu ditata. Tak bisa dipungkiri, kesalahan bukan cuma dari pihak RS. Kultur keluarga pasien yang tidak begitu memperhatikan kebersihan, hingga kebiasaan membawa penjaga pasien hingga satu kampung menjadi hal yang perlu dibenahi.

Seorang residen Interna pernah marah pada saya, karena saya lupa untuk mengecek obat pasien di bangsal. Beliau bukan marah karena kealpaan saya, namun karena ketidakpedulian saya pada mereka. Saya masih ingat kalimatnya, jika bukan kita yang memperhatikan mereka –para penghuni bangsal-, siapa lagi yang bisa diharap? Setidaknya keperdulian di saat tempat dan pelayanan yang terbatas menjadi pencerahan bagi mereka juga, bahwa kita melakukan yang terbaik bagi mereka, tak pandang apa mereka mampu membayar atau tidak. Saya salut pada residen ini, kepeduliannya pada pasien hingga ia pernah “memprotes” salah satu hasil pemeriksaan yang dinilainya ganjil, dan ia harus berhadapan langsung dengan Prof XX yang melakukan pemeriksaan itu.