Ketika Cinta Berlebihan? Ketika Cinta Bersambung?*


Kemarin, akhirnya bisa juga nonton film yang satu ini. Tidak diniatkan memang, cuma penasaran dengan bombastisnya promosi film ini. (Sampe ada audisi pemeran utama yang ditayangkan di tv,… ckckck). :inlove:Niatnya mo nonton di MTos (bokek-mode-on), tapi setelah sampai disana, astaganaga tiket sudah habis untuk show sampai jam 21.00. Wadoh, banyak penontonnya,..

:sobrakana:

Akhirnya pilihan jatuh ke Makassar Theatre (bioskop jadul dengan tiket seperti karcis masuk terminal :D). Disini, dibuka dua theatre sekaligus. Setelah beli tiket (karcis, exactly:devilishgrin:), telat masuk nonton, eh sudah disuguhi dengan adegan sinetron-looks-alike (close-up dan ngomong gak ada jeda…). Wadoh,.. jatuh harga

:sigh:

Seterusnya, alir cerita mulai mengalir, tapi tetap saja seperti sinetron. Adegan banyakan close-up, ngomong tidak ada jeda (malah kelihatan seperti adu hapal dialog :argh:^^), iklan dimana-mana, sampai deskripsi yang BERLEBIHAN.

:please::argh:::(

Hal yag terakhir itu paling tidak saya suka. Haruskah aktor/aktris sampai menjelaskan detail berlebihan tentang jalan cerita film lewat dialog?? Aktor/aktris yang (mungkin) baru pertama berakting di film, yaa bisa dimaklumi lah.

. :waaah:

Dan akhir film yang “.. to be continued..”. Hahahahaha, that’s sooo drama soap.

:tsk:

Novel aslinya, klo boleh jujur, juga agak berlebihan (sekali lagi menurut sayaaa). Saya masih lebih menyukai kesederhanaan Tere-Liye lewat Hapalan Shalat Delisa. Too much details. Dan jujur, I didin’t get the message. Konsep cinta dalam Islam? Poligami?

:okay:

Seterusnya? Saya sibuk main game di henpon, sesekali ngintip FB. Ketika Cinta Bersambung eh Bertasbih sudah selesai, saya orang pertama di pintu exit. Haaaa!

:galit::scream:

*pendapat pribadi penulis.

Road to Elderado

Yang saya ingat waktu kecil dulu, setiap kali ada teman yang bertanya, -mau jadi apa-, saya kehabisan jawaban. Teman-teman sudah mendoktrin cita-cita mereka dalam selembar kertas binder -yaaaaaik, that's soooo 90's:devilishgrin: -, dengan profesi-profesi standar anak SD. Dokter (rata-rata tulis dokter anak, mungkin karena mereka anak-anak yaa.. :argh:), polisi, ABRI, insinyur (gak jelassss...), sampe ke jawaban paling jayus : berguna bagi bangsa dan negara.

:inis:
Sementara saya, tidak ada jawaban pasti. Kadang saya tulis insinyur (saya pernah bercita-cita kuliah di ITB je gara-gara pak Habibie,,, kekekeke :astig:), malah pernah saya meyakinkan diri kalo saya akan menjadi wartawan. Yep. W-A-R-T-A-W-A-N. Tau gak kenapa? Karena tidak ada teman yang menulis mau jadi wartawan. Hahaahaha, secara masih anak SD, show-off itu penting boo! :tsk:
Yang jelas, tidak pernah saya tulis cita-cita mau jadi DOKTER. Saya takut disuntik (yeik, klise), saya takut jarum, saya takut dengan dokter yang korek-korek kuping (bener! di SD dulu, ada dokter yang rutin datang pemkes, lengkap dengan korek kupingnya :takot:)


Lalu, 16 tahun kemudian, terseret juga sekolah di kedokteran. Kebetulan lulus, -meminjam istilahnya k'Ilo-. Sampai di masa-masa menuju tambahan nama (insya Allah, doakan yaa), saya sendiri masih belum mengerti, kenapa saya sekolah di bidang ini? Merasa belum pantas menjadi dokter (there's a lot f things i don't know..), merasa ilmu tidak ada apa-apanya, merasa masih cupu, ahhhhh..

Saya tidak tau akan kemana setelah ini. Sekolahkah? PTT kah? Atau malah tidak berkecimpung di dunia persilatan? Saya iri, membaca blog koas-koas lain di uni luar. Betapa cerdasnya mereka. Betapa terorganisirnya rancangan hidup mereka. Sementara saya? Tiba masa tiba akal.

Saya bukan top ten otak-otak jenius di neocortex. Saya bukan berasal dari keluarga dokter. So, it's kinda hard for me.

Sampai bapak pernah bertanya saat selesai membaca buku "Mengobati dengan Hati : Kisah dokter PTT", siapkah kamu dengan hidup seperti itu? Padahal saya masih berimajinasi, kelak bertugas di pulau, rumah dekat pantai, tp pertanyaan itu segera memupus semuanya. Apa iya saya siap?

Sepertinya belum. :sorry: