Di testimonial dari seorang teman yang saya approve, tertulis bahwa dia meneyebut saya ustaz. Ustaz atau ustad, sama saja. Mungkin dia beranggapan bahwa muslim di dunia ini hanya terbagi dua : ustad dan bukan-ustad.
Stereotipe yang melekat di kebanyakan orang, menyebutkan bahwa seorang ustad itu harus alim, hapal Al Qur'an (dan mungkin kitab kuning), rajin ke Masjid, bisa baca do'a (spesifiknya hapal banyak do'a), tua (relatif), pake surban, pegang tasbih, sering memberi ceramah, dsb.
Sterotipe yang melekat di kebanyakan kaum muda (mahasiswa), ustad itu alim, tidak bergaul dengan lawan jenis, berjanggut, memakai celana "gantung", sering ditemukan di masjid, pendiam, hapal Al Qur'an, berbaju koko, dsb.
Nah saya? Tidak alim. Masih bergaul dengan lawan jenis (sedikit dibatasi), berjanggut (motivasi apa ya?), celana tidak sampai "gantung", sering ditemukan di kantin, tidak hapal Al Qur'an, cerewet, berbaju kaus, dsb.
Jadi menurutmu, saya itu apa?
Ustad -sepengetahuan saya- berasal dari bahasa Arab yang berarti guru. Jadi kalau dia menanggap saya ustad, artinya saya guru dong. Guru? Bukankah guru adalah seorang yang ilmu keIslamannya (tsaqafah) lebih tinggi dari muridnya? Sementara saya. Seberapa luas tsaqafah saya? Ungkapan ustad seakan menjadi cermin -sekaligus sebagai tonjokan- buat saya. Apa iya saya dianggap ustad? Saya kira tidak. Saya bukan ustad. Saya seorang thalibul ilmi.
Jangan tertipu casing!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Me, Myself : The Undercover Version (part1)"
Post a Comment
Komentar, Bukan Spam ;)